Mengabdi Untuk Negeri

Senin, 01 Mei 2017

Berkenalan Dengan Pesantren



Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mempunyai peranan penting dalam sejarah Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa dan Madura. Pondok pesantren, jika di aceh disebut rangkang atau meunasah, sedangkan di Sumatra Barat disebut surau.[1]
Istilah pondok pesantren dalam pemahaman sehari-hari kadang-kadang hanya disebut pondok atau pesantren saja dan bisa juga disebut secara bersama-sama, pondok pesantren. Di Indonesia lebih populer dengan sebutan pondok pesantren.[2]
Kata pondok berasal dari bahasa Arab “fundug” yang berarti “hotel atau asrama”.[3] Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti “tempat tinggal para santri”.[4]

Sedangkan pondok pesantren menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli adalah sebagai berikut :
1)      M.Arifin sebagaimana dikutip oleh Qomar:
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan leadership seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.[5]

2)      Abrurrahman Wahid
Pondok pesantren adalah komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam komplek itu terdiri beberapa buah bangunan: rumah pengasuh, sebuah surau atau masjid, dan asrama tempat tinggal santri.[6]

3)      Zamakhsyari Dhofier
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.[7]





Berangkat dari beberapa pengertian tentang pondok pesantren di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari komplek yang di dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik), yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana-sarana seperti masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung dengan adanya asrama atau pondok sebagai tempat tinggal para santri.
1.      Tujuan Pondok Pesantren
Tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai sesuatu yang dikehendaki, tanpa adanya suatu tujuan yang jelas maka roda perjalanan sebuah lembaga tidak akan berjalan dengan baik, termasuk dalam lembaga pondok pesantren. Ironisnya, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak memiliki formulasi tujuan yang jelas, baik dalam tataran institusional, kurikuler maupun instruksional umum dan khusus. Tujuan yang dimilikinya hanya ada dalam angan-angan.[8]   Selama ini memang belum pernah ada rumusan tertulis mengenai tujuan pendidikan pesantren.[9] Akibatnya, beberapa penulis merumuskan tujuan itu hanya berdasarkan perkiraan (asumsi) dan atau wawancara.[10]

Adapun tujuan pondok pesantren menurut Ziemiek sebagaimana dikutip oleh Qomar adalah “membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan”.[11] Sementara itu Arifin mengemukakan bahwa tujuan pondok pesantren ada 2 yaitu :
a.       Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
b.      Tujuan khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.[12]

Sedangkan tujuan institusional pondok pesantren yang lebih luas dengan tetap mempertahankan hakikatnya dan diharapkan menjadi tujuan pondok pesantren secara nasional pernah diputuskan dalam Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Perkembangan Pondok Pesantren di Jakarta yang berlangsung pada 2 s/d 6 Mei 1978, yang dikutip oleh Qomar:
Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.
Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut:
·         Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga Negara yang berpancasila;
·         Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia Muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh,  wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis;
·         Memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan Negara;
·         Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat lingkungannya);
·         Agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental spiritual;
·         Untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha usaha pembangunan bangsa.[13]

Rumusan tujuan ini adalah yang paling rinci diantara rumusan yang pernah diungkapkan beberapa peneliti di atas, tetapi harapan untuk memberlakukan tujuan tersebut bagi seluruh pesantren rupanya kandas. Kiai-kiai pesantren tidak mentransfer rumusan tersebut secara tertulis sebagai tujuan bagi pesantrennya kendati orientasi pesantren tidak jauh berbeda dengan kehendak tujuan tersebut.[14]
Sekalipun sampai saat ini tujuan pendidikan di pondok pesantren belum dirumuskan secara rinci dan dijabarkan dalam suatu sistem pendidikan yang lengkap dan konsisten, tetapi secara umum tujuan itu telah tertuang dalam kitab Ta’limul Muta’alim, dimana tujuan seseorang menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu adalah semata-mata karena kewajiban Islam yang harus dilakukan secara ikhlas.[15] Selain itu secara sistematis tujuan pendidikan di pondok pesantren jelas menghendaki produk lulusan yang mandiri dan berakhlak baik serta bertaqwa, dengan memilahnya secara tegas antara aspek pendidikan dan pengajaran yang saling mengisi satu sama lain. Singkatnya, dimensi pendidikan dalam arti membina budi pekerti santri memperoleh porsi yang seimbang di samping dimensi pengajaran yang membina dan mengembangkan intelektual santri.
Dari beberapa tujuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan pondok pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia serta dapat menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan negara.
2.      Elemen-elemen Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang tumbuh dan berkembangnya diakui oleh masyarakat. Sebuah pondok pesantren memiliki lima elemen dasar yang terdiri dari: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kiai.[16]
1.      Pondok
Istilah pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri (pondok) atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab fundug, yang berarti hotel atau asrama.[17] Keadaan pondok pada masa kolonial digambarkan Hurgronje sebagaimana dikutip Arifin:
Pondok terdiri dari dari sebuah gedung berbentuk persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur tiang-tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian., sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu  dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.  Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan besar yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang agak sempurna dimana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang terpaksa harus membungkuk, cendelanya keci-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa kitab. [18]

Berbeda dengan apa yang dideskripsikan oleh Hurgronje di atas, dewasa ini keberadaan pondok sebagai tempat tinggal santri sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa hingga komponen-komponen yang dimaksudkan semakin lama semakin bertambah dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang lebih memadahi.
2.      Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang Jum’ah, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.[19] Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam pondok pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional, sebab sejak zaman lahirnya Islam (Nabi Muhammad), masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam.
Para kiai selalu mengajar murid-muridnya (santri) di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin kepada santri dalam mengerjakan sholat lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan  kewajiban agama yang lain. Oleh karena itu, masjid merupakan elemen penting dari sebuah pondok pesantren.
3.      Santri
Santri merupakan peserta didik atau objek pendidikan.[20] Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren, para santri tinggal dalam pondok yang menyerupai asrama biara, dan disana mereka memasak dan mencuci pakaiannya sendiri, mereka belajar tanpa terikat waktu sebab mereka mengutamakan beribadah, termasuk belajarpun dianggap sebagai ibadah.[21]
Dhofier membagi santri menjadi dua kelompok sesuai dengan tradisi pesantren yang diamatinya, yaitu:
1.      Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren.
2.      Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendiri.[22]

Perbedaan antara pondok pesantren besar dan pondok pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santrinya. Sebuah pondok pesantren besar, memiliki santri mukim yang lebih banyak, sedangkan pondok pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri  kalong daripada santri mukim.
4.      Pengajaran kitab-kitab Islam klasik
Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pondok pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab-kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Menurut Nasuha sebagaimana dikutip oleh Arifin, penyebutan batasan term kitab kuning, mungkin membatasi dengan tahun karangan, ada yang membatasi dengan madzab teologi, ada yang membatasi dengan istilah mu’tabarah dan sebagainya. Sebagian yang lain beranggapan disebabkan oleh warna kertas dari kitab-kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumen ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan memakai kertas putih yang umum dipakai di dunia percetakan.[23]  



Kitab-kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren dapat digolongkan kedalam 8 kelompok, yaitu: 1. nahwu dan shorof; 2. fiqh; 3. ushul fiqh; 4. hadits; 5. tafsir; 6. tauhid; 7. tasawuf dan etika; 8. cabang-cabang ilmu lain seperti tarikh dan balaghah.[24]
Kitab kuning dan pesantren merupakan dua sisi (aspek)yang tidak bisa dipisahkan, dan tidak bisa saling meniadakan. Ibarat mata uang, antar satu sisi dengan sisi lainnya yang saling terkait erat.[25] Kitab kuning sebagai salah satu unsur mutlak dari pengajaran di pondok pesantren sedemikian penting dalam proses terbentuknya kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan pada diri santri. Oleh karena itu eksistensi kitab kuning dalam sebuah pondok pesantren menempati posisi yang urgen, sehingga dipandang sebagai salah satu unsur yang membentuk wujud pondok pesantren itu sendiri, di samping kiai, santri, masjid dan pondok.
5.      Kiai
Kata kiai bukan berasal dari bahasa Arab melainkan dari bahasa Jawa. Dalam terminologi Jawa, kata kiai memiliki makna sesuatu yang diyakini memiliki tuah atau keramat.[26] Artinya segala sesuatu yang memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan dibandingkan yang lain, dalam terminologi Jawa dapat dikategorikan kiai.[27] Namun pengertian yang lebih luas di Indonesia, sebutan kiai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pondok pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan hidupnya untuk Allah serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan keagamaan.[28] Di Jawa Barat mereka disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Kiai, dan di Madura disebut Mak Kyiae, Bendara atau Nun.[29] Sedangkan Ali Maschan Moesa sebagaimana dikutip Qomar mencatat, di Aceh disebut Tengku, di Sumatera Utara/Tapanuli disebut Syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru.[30]
Di lingkungan pondok pesantren, keberadaan kiai sangat signifikan. Segala bentuk pemikiran, tindak tanduk, dan perilaku kiai dipandang selalu benar serta menjadi figur teladan bagi santri. Kiai kemudian memiliki otoritas dan kharisma yang memuncak, dimana ketaatan santri menjadi sesuatu yang sangat niscaya.
Kiai di mata santri lebih dari sekedar guru dalam pengertian modern yang dikenal saat ini. Kiai adalah sosok yang dicontoh segala perilakunya dan digali ilmunya. Bahkan dalam konteks pondok pesantren, kiai berwujud sebagai raja-raja kecil yang memiliki otoritas penuh terhadap pondok pesantren dan santri. Suara kiai adalah titah yang wajib ditaati, karena dalam tradisi pondok pesantren kiai bukan  hanya figur spiritual yang memiliki titisan “pewaris para nabi”, tetapi juga sebagai simbol penguasa kecil yang sangat otokratif terhadap masyarakat pesantren. Kepatuhan dan ketundukan terhadap kiai dalam segala hal, baik qaulan, fi’lan, dan taqrirannya merupakan fakta ketundukan dalam kehidupan masyarakat pesantren.[31]


       [1] Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan, (Yogyakarta : Teras, 2009), hal.16.
       [2] Ibid., hal.18.
       [3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal.18.
       [4]  Ibid.
       [5] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta : Erlangga, 2002), hal.2.
       [6] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal.3.
       [7] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.44.
        [8]  Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.3.
        [9]  Binti Maunah, Tradisi Intelektual…, hal.25.
       [10] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.3.
       [11] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.4.
       [12] H.M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta:Bumi Aksara, 1991), hal.248.
       [13] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.7.
       [14] Ibid.
       [15] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus:pondok Pesantren Tebuireng, (Malang:Kalimasahada Press, 1993), hal.35.
       [16] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.44.
       [17] Ibid., hal.18.
       [18] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.6.
       [19] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.49.
       [20] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.20.
       [21] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.11.
       [22] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.51-52.
       [23] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.8-9.
       [24] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.50.
       [25] Binti Maunah, Tradisi Intelektual…, hal.38.
       [26] Ibnu Hajar, Kiai Di Tengah Pusaran Politik Antara Petaka dan Kuasa, (Yogyakarta: IRCisoD, 2009), hal.20.
       [27] Ibnu Hajar, Kiai Di Tengah…, hal.20.
       [28] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.13-14.
       [29] Ibid., hal.14.
       [30] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.20.
       [31]  Ibnu Hajar, Kiai Di Tengah…, hal.19.

sumber: repo.iain-tulungagung.ac.id/2364/2/BAB%20II.doc

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Total Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.
Copyright © MI WALISONGO | Powered by Blogger
Design by Viva Themes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com